Resume Ilmu Fiqh tentang
sejarah,hukum, Thaharah, zakat, sholat, puasa dan haji
Sejarah ilmu fiqh
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan.
Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.
Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.
Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum, ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.
Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (w. 204 H).
Imam Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafi’i berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafi’i menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.
Setelah Syafi’i, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ‘ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.
HUKUM ILMU FIQH
Ulama fiqih membunyai istilah-istilah tertentu yang sering
digunakan dalam kitab- kitab mereka, diantaranya:
A. Istilah Hukum
1. Hukum Taklif
a. Fardhu
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama
dengan tuntutan yang pasti dan harus, dengan dalil qath’i (pasti), Contohnya,
rukun Islam yang lima, yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah mutawatirah,
atau sesuatu yang termasyhur seperti membaca Al Quran dalam shalat. Maka jika
hukum yang fardhu diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan
dan dihukumi kafir jika meninggalkannya.
b. Wajib
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama
dengan tuntutan yang keras, dengan dalil yang zhan (tidak pasti), seperti,
wajibnya zakat fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir)..
Menurut qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa
jika ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur
ulama menyamakan antara wajib dan fardhu kecuali Madzhab Al Hanafiyah
c. Al Mandub atau Sunnah
Apa- apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi
tidak dengan keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya
tetapi tidak disiksa jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang,
sahalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub
dengan nafilah, mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al
Hanafiyah, beliau membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah,
mandub masyru’ seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru
Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. dalam makan dan minum.
d. Haram
Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama
dengan tuntutan yang keras, menurut Al Hanafiyah, sesuatu yang harus
ditinggalkan berdasarkan dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum
khamar, berzina dan lain sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan
disiksa ketika meninggalkannya, Al Hanafiyah menamakan haram juga dengan,
ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur anhu, muatawaidan alaih.
e. Makruh Tahrim
Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama
dengan tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual
dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain,
haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al Hanafiyah
mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram
menurut mereka.
f. Makruh Tanzih
Menurut Al Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh
agama untuk ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila
sampai melakukannya, seperti wudhu dari bekas ludah kucing, memakan hasil
buaruan burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya. Menurut jumhur
ulama makruh hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut un tuk dikerjakan oleh
agama dengan tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang
diberi pahala ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.
g. Mubah
Adalah apa- apa yang diperbolehkan oleh agama, baik
ditinggalkan atau dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain
sebagainya.
2. Hukum Wadh’i
a. Sebab
Adalah susuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu
di akui oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan
keharaman khamar, safar (bepergian) yang menjadi sebab dibolehkannya berbuka
shaum di bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoashar shalat, sedang sebab
yang tidak diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebabkan
diwajibkannya shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi
sebab diwajibkannya shaum pada esok harinya.
b. Syarat
Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan
bagian dari sesuatu, seperti, wudhu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi
wudhu bukan bagian dari shalat.
c. Rukun
Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan
bagian dari sesuatu, , mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan
shahnya shalat dan takbiraul ihram merupakan bagian dari shalat.
d. Penghalang
Sesutu yang apa bila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada
atau menjadi bathal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi
sebab tidak shahnya hukum shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya
zakat bagi seseorang.
e. Sah
Apa- apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’
misalnya, shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat
itu sah.
f. Batal
Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut
ulama Al Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok,
yang merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli,
kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.
g. Rusak
Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut
ulama Al Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad
atau dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang
tidak diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena
salah satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.
h. Al Ada’
Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan
menurut syara’ misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.
i. Al I’adah (mengulang)
Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada
waktunya. Misalnya mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya
dirumah, atau mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah
karena suatu sebab.
j. Al Qadha’
Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti
mengerjakan shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak
disengaja) misalnya, mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.
h. Al ‘Azimah
Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum perauran itu tidak
ada peraturan lain yang mendahuluinya dan beralaku umum bagi seluruh mukallaf
dalam semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat
lima waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah
rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dham
keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.
k. Ar Rukhshah
Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada hal-hal
yang memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan
pokok. Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud
menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.
B. Istilah Ushul
Isthilah ushul adalah istilah khusus yang berakaitan dengan
hukum yang biasa digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukum syara’
1. Umum dan Khusus (‘amm dan khas)
Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk
memahami maksud Al Quran dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits
biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafadz
yang ‘amm (umum) dan ada juga yang khas (khusus).
Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan
untuk menunjukan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak
yang tidak terhitung, misalnya dalam surat Al Hujurat ayat 18 Allah berfirman,
“Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini umum menunjukan bahwa semua amal baik kecil besar
terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti diketahui oleh Allah,
maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena tidak terbatas.
Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan
menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua
lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis)
oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat
29,
“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka
bumi ini untuk kalian…”
berarti kita boleh memanf aatkan segala apa yang ada dimuka
bumi ini termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam
ayat lain Allah mengharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi
memakai dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya
sudah dikecualikan.
Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir
atau penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.
2. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah, laf adz yang menunjukan suatu hal atau
barang atau orang tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh
firman Allah dalam surat Al Maidah ayat: “Diharamkan atas kalian bangkai darah,
dan daging babi.”
Berarti semua darah dan daging babi haram dimakan. Muqayyad
adalah, suatu lafadz yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu
disertai ikatan (batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat.
Contoh firman Allah dalam ayat berikut:
“Katakanlah,”Aku tidak peroleh di dalam wahyu yang
diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan kecuali bangkai, darah yang
mengalir dan daging babi…” (QS Al Anam: 145)
Berarti kalimat darah dalam ayat Al Maidah sudah dibatasi
(ditaqyid) oleh ayat Al Anam yaitu kaimat “yang mengalir”
Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad
yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad
yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah
yang mengalir saja bukan semua darah.
3. Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah lafadz atau perkataan yang belum jelas
maksudnya, seperti kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”, maka kata
shalat dalam Al Quran ini masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau
perbuatan, belum dijelaskan apa maksudnya.
Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang maksudnya tanpa
memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti firman Allah:
“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah
muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian………” (QS Al Maidah: 6)
4. Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu
sendiri. Mantuq dibagi dua:
a. Nash, yaitu suatu lafadz atau perkataan yang jelas dan
tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada kalian sahaum, Allah
haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka kata-kata wajib dan
haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh dikerjakan atau boleh
ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.
b. Dzahir adalah laf adz yang menunjukan suatu makna secara
tekstual. Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang
memerlukan takwil atau keterangan, seperti firman Allah,
”Tanyakanlah oleh kalian kampung tersebut……” (QS Yusuf: 82)
Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan
maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh karena itu ayat ini
memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan dengan kaidah bahasa atau
majaz.
Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu
sendiri tapi berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah
surat Al Isra ayat 23:
“Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua
dan jananlah menghardik keduanya.” (QS Al Isra’: 23)
Berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan karena
mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul.
Contoh lain, firman Allah dalam ayat berikut ini:
“Mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan
aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perutnya.” (QS An Nisa: 10)
berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan
memakan harta anak yatim karena karena membuat sesuatu kedzaliman terhadap anak
yatim.
C. Istilah dalam Ilmu Fiqih
1. Ijtihad
Dari segi bahasa Ijtihad berarti sungguh-sungguh sedang
menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupam untuk menetapkan
hukum-hukum syari’at, orangnya disebut mujtahid. syarat-syarat Ijtihad
Mengetahui nash dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak
mengetahui maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad
Mengetahui soal-soal ijma, hingga ia tidak berfatwa yang
berlainan dengan ijma’
Mengetahui bahasa arab
Mengetahui ilmu ushul fiqh (kaidah dasar pengambilan hukum
fiqh)
Mengetahui nasikh dan mansukh
2. Ittiba’
Ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui
sumber-sumber atau alasan perkataan tersebut, orangnya disebut muttabi’
3. Taqlid
Ialah mengikuti pandapat orang lain tanpa mengetahui sumber
atau alasannya.
a. Syarat-syarat taqlid:
Bertaqlid diboleh dengan syarat-syarat orang awam (orang
biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum, ia boleh mengikuti pendapat
lain dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri maka
hendaklah mencari sendiri atau minimal ittaba’ kepada salah satu madzhab
tertentu.
b. Syarat-syarat masalah yang ditaqlid
Hukum akal
Dalam hkum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain,
seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sif atNya dan
hukum akal lainya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal,
sedang setiap oarng punya akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada
orang lain.
Hukum syara’
Hukum syara ada dua macam yaitu yang bisa diketahui dengan
pasti seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji dalam masalah
ini tidak boleh seseorang bertaqlid. Yang kedua masalah-masalah yang diketahui
dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti ibadah furu’iyah.
c. Taqlid yang diharamkan
1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Al
Quran dan As sunnah
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya
untuk ditaqlidi
Pesan Imam Empat dalam Masalah Lain-lain
Imam Abu Hanifah:
“Jika perkataanku manyalahi kitab Allah dan Hadits Rasul,
maka tinggalkanlah pendapatku.”
“Seseoarang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum
mengetahui dari mana saya berkata.”
Imam Malik:
“Saya hanya manusia biasa yang kadang salah kadang benar,
selidikilah pendapat saya, kalau sesuai dengan Al Quran dan Hadits, maka
ambillah, jika menyalahi hendaklah tinggalkanlah.”
Imam Syafi’i:
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan)
seperti orang yang mancari kayu bakar di waktu malam, ia membawa kayu-kayu itu
sedang ia tidak tahu di dalamnya ada ular yang siap menggigit sedang ia tidak
tahu.”
Imam Ahmad Bin Hanbal:
“Janganlah taqlid kepada saya, Malik, Tsauri, Auza’i, tapi
ambilah dari mana mereka mengambil.”
BAB 1
THAHARAH
- PENGERTIAN
Thaharah menurut bahasa berasal
dari bahasa arab (الطهراه ( yang artinya bersuci. Sedangkan
menurut istilah, thaharah ialah menghilangkan hadas dan najis dari badan,
pakaian dan tempat supaya dapat menunaikan ibadat khususnya ibadat solat.
Bersuci itu adalah sesuatu yang wajib
di dalam ajaran islam.Tanpa bersuci ibadat tidak diterima.Di antara cara
bersuci ialah wuduk , mandi dan membersihkan najis dari badan dan pakaian.
- JENIS-JENIS BERSUCI
1. Menyucikan
badan dari hadas kecil.
Yaitu menyucikan badan daripada
hadas kecil dengan berwudhu atau bertayammum. Orang yang berhadas kecil tidak
dibolehkan mengerjakan solat atau menyentuh al-Quran.
2. Menyucikan
badan dari hadas besar.
Orang yang berjunub atau berhadas
besar hendaklah membersihkan dirinya dengan mandi.Mereka yang berhadas besar
ialah mereka yang melakukan persetubuhan ,orang yang haid dan nifas. Orang yang
berhadas besar juga diharamkan mengerjakan solat, puasa, haji, duduk di dalam
masjid, menyentuh dan membaca al-Quran.
3. Istinja’
Menghilangkan kotoran seperti najis dari tempat keluarnya
dengan sesuatu yang bersih seperti air, kertas, batu, tisu dan sebagainya
sehingga najis itu bersih. Istinja’ itu mestilah menghilangkan najis, baunya
dan rasanya.
Cara-cara beristinja’:
Cara-cara beristinja’:
a. Istinja’
itu mestilah 3 kali ulang, kalau masih belum suci boleh di ulangi lagi sehingga
bersih.
b. Alat
dibuat istinja’ itu mestilah dapat membersihkan tempat najis yang keluar.
c. Sekiranya
batu mestilah diambil sekurang-kurangnya 3 biji.
- AIR
Air di bagi menjadi beberapa
bagian, yaitu :
1. Air
Mutlak (Air yang suci lagi menyucikan).
Air ini boleh digunakan untuk
minum, mandi dan berwudhu dan boleh juga digunakan untuk membasuh.contoh air
mutlak ialah air telaga, air sungai, air hujan, air mata air, air laut dan
sebagainya.
2. Air
Musta’mal (Air yang telah digunakan ).
3. Air
yang suci tetapi tidak boleh menyucikan.
Yaitu air yang telah berubah
salah satu sifatnya, contoh seperti air kopi, air teh dan sebagainya. Termasuk
juga dalam golongan ini air yang kurang dari dua kolah yaitu air yang sudah
digunakan untuk berwudhu atau menghilangkan najis.
4. Air
Mutannajis ( Air yang kotor).
Air yang najis yaitu air yang
sudah berubah semua sifatnya seperti warna, rasa atau baunya dan bercampur
dengan najis.
5. Air
Musyammas (air yang berjemur pada matahari).
Ialah air yang makruh untuk
digunakan ialah air yang terjemur pada terik matahari dalam bekas selain bekas
daripada emas atau perak. Air ini makruh digunakan untuk badan tetapi boleh
digunakan untuk membasuh pakaian.
- JENIS – JENIS NAJIS
Jenis-jenis najis di kelompokkan
menjadi 3 bagian di bawah ini :
1. Najis
Mughallazah (najis berat).
Yaitu najis yang berat yaitu
najis anjing dan babi. Cara mencuci barang–barang yang terkena najis ini ialah
dengan menyamak yaitu membasuh dengan air sebanyak 7 kali. Di antara basuhan
itu hendaklah dengan air bercampur dengan tanah.
2. Najis
mukhaffafah (najis ringan).
Yaitu najis yang ringan seperti
kencing bayi yang berusia 2 tahun kebawah, yang hanya minum susu ibunya saja.
Cara menyucinya ialah dengan merenjis air di tempat terkena kencing itu.
3. Najis
Mutawassitah (najis pertengahan).
Yaitu najis pertengahan. Termasuk
dalam kumpulan ini ialah air kencing, tahi, darah, nanah, muntah, air mazi
(yaitu air putih jernih yang keluar dari kemaluan ketika nafsu berahi
meningkat), wadi (yaitu air putih jernih yang keluar dari kemaluan sesudah buang
air kecil ketika kerja berat), arak dan susu binatang yang tidak boleh dimakan.
Cara menyucinya ialah basuh dengan air bersih hingga hilang baunya, rasanya,
dan warnanya. Jika sudah dibasuh berulang-ulang kali tetapi bau dan warnanya
tidak juga hilang adalah dimaafkan.
- WUDHU
1. Pengertian
wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya
bersih dan indah. Menurut syarak artinya membersihkan anggota wudhu untuk
menghilangkan hadas kecil. Bagi orang yang hendak menunaikan sholat, wajiblah
baginya berwudhu dahulu kerana berwudhu adalah syarat sahnya sholat.
Hadits Rasul SAW :
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi ).
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi ).
2. Fardhu
Wudhu
Dalam Q.S. Al-maidah : 6 Allah
beriman :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakitatau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Berdasarkan ayat di atas, maka fardu
wudhu ada enam perkara berikut :
a. Niat.
Ialah berniat dalam hati ketika membasuh sebahagian muka.membaca lafaz adalah sunat. Lafadznya ialah sebagai berikutt:
نويت الوضوع لرفع الحدث الاصغر لله تعالى
“ Sengaja aku berwudhu untuk mengangkat hadas yang kecil kerana Allah Taala”
Ialah berniat dalam hati ketika membasuh sebahagian muka.membaca lafaz adalah sunat. Lafadznya ialah sebagai berikutt:
نويت الوضوع لرفع الحدث الاصغر لله تعالى
“ Sengaja aku berwudhu untuk mengangkat hadas yang kecil kerana Allah Taala”
b. Membasuh muka
Yaitu membasuh dari sekeliling tempat tumbuhnya rambut kepala hinggga ke bawah dagu dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri.
Yaitu membasuh dari sekeliling tempat tumbuhnya rambut kepala hinggga ke bawah dagu dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri.
c. Membasuh kedua
tangan hingga kesiku dimulai dengan tangan kanan kemudian tangan kiri.
d. Membasuh
atau menyapuh sebahagian dari kepala. Sekurang-kurangnya membasahkan 3 helai
rambut dikepala.
e. Membasuh
kedua kaki hingga ke buku lali dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri.
f. Tertib
yaitu melakukan wudhu mengikut turutan dan berturut-turut.
3. Syarat-Syarat
Wudhu
Adapun syarat-syarat wudhu adalah
sebagai berikut :
a. Beragama
ilslam
b. Mumaiyiz
yaitu seseorang yang telah dapat membedakan antara yang bersih dengan yang
kotor.
c. Suci
dari haid dan nifas
d. Dengan
air yang suci lagi menyucikan
e. Tidak
ada sesuatu yang dapat menghalang air sampai kekulit (anggota wudhu) seperti
getah, minyak dan sebagainya
f. Mengetahui
yang mana wajib dan yang mana sunat
4. Sunat-Sunat
Wudhu
Sunat-sunat wudhu ialah sebagai
berikut :
a. Membaca
Bismillah.
b. Membasuh
kedua tangan sehingga ke pergelangan tangan.
c. Berkumur-kumur.
d. Memasukkan
air kehidung.
e. Menyapu
seluruh kepala.
f. Menyapu
air kedua-dua telinga luar dan dalam.
g. Membasuh
tiap-tiap anggota wuduk tiga kali.
h. Tidak
bercakap-cakap ketika berwudhu.
i. Bersikat
gigi.
j. Membaca
doa selepas berwudhu.
5. Perkara-Perkara
Yang Membatalkan Wudhu
a. Keluar
sesuatu dari dua jalan yaitu qubul dan dubur seperti kentut, kencing dan
sebagainya
b. Hilang
ingatan dengan sebab gila atau pitam atau tidur yang tidak tetap kedudukannya
c. Bersentuh
kulit antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya
d. Menyentuh
kemaluan dengan telapak tangan atau perut anak jari. Entah kemaluan sendiri
atau orang lain.
- TAYAMMUM
Tayammum ialah menyapu tanah
dengan kedua tangan hingga ke siku dengan beberapa syarat tertentu .Tayammun
adalah sebagai ganti wudhu atau mandi wajib khususnya bagi mereka yang tidak
boleh menggunakan air kerana sebab-sebab tertentu yaitu uzur kerana sakit yang
tidak boleh terkena air, tiada air atau ada air yang cukup untuk minum saja.
1. Syarat-syarat
Tayammum
a. masuk
waktu solat sedangkan air tidak ada,
b. tidak
ada air walaupun sudah berusaha mencarinya,
c. tanah
suci dan berdebu,
d. menghilangkan
najis dari badannya dengan beristinja’ sebelum bertayammum.
2. Rukun
Tayammum
a. berniat,
b. menekankan
kedua tapak tangan ke atas bedu yang suci,
c. menyapu
muka dengan debu tadi,
d. menekan
kedua telapak tangan ke atas debu sekali lagi kemudian menyapu dua tapak tangan
sampai kesiku,
e. tertib.
3. Sunnat
Tayammum
Sunnat-sunnat tayammum adalah
sebagai berikut :
a. Membaca
Basmalah,
b. Mengadap
kiblat,
c. Mendahului
menyapu anggota kanan,
d. Mengejakan
dengan berturut-berturut.
4. Perkara
yang Membatalkan Tayammum
Perkara yang bisa membatalkan
tayammum adalah sebagai berikut :
a. semua
perkara yang membatalkan wudhu,
b. mendapatkan
air sebelum memulakan sholat (bagi orang yang tidak uzur),
c. apabila
orang yang uzur boleh menggunakan air.
- MANDI WAJIB atau MANDI JUNUB
Mandi junub ialah mandi yang
wajib dilakukan untuk mengangkat hadas yang besar setelah berlaku salah satu
daripada sebab-sebab yang menyebabkan wajibnya mandi wajib seperti bersetubuh,
nifas, dan lain-lain.
1. Sebab-sebab
Wajib Mandi :
a. melakukan
persetubuhan yaitu memasukkan kepala hasafah ke dalam faraj meskipun tidak
keluar air mani,
b. keluar
air mani walaupun tidak bersetubuh,
c. mati
kecuali mati syahid,
d. suci
daripada haid. Apabila seseorang perempuan telah suci daripada haidnya maka
wajiblah dia mandi dengan segera,
e. suci
dari darah nifas iaitu darah yang keluar sesudah melahirkan anak.
f. Wiladah
yaitu melahirkan anak.
2. Rukun
Mandi Junub :
a. Niat.
b. menghilangkan
semua najis daripada anggota badan,
c. meratakan
air ke seluruh badan.
3. Sunah-sunnah
Mandi Junub :
a. membaca
bismillah,
b. mencuci
faraj dan dubur dengan air bersih,
c. kalau
ada najis ditubuh badan hendaklah dibersihkan terlebih dahulu,
d. sunnah
berwudhu,
e. menjirus
air ke badan dimulakan dari sebelah kanan.
4. Perkara-Perkara
yang Dilarang Bagi Orang yang Berhadas Besar :
a. mengerjakan
solat, termasuk juga sujud syukur, sujud tilawah, membaca khutbah jumaat,
b. melakukan
tawaf di Baitullah,
c. menyentuh
dan membaca al-Quran,
d. berhenti
di dalam masjid atau berulang-alik di dalamnya,
e. berpuasa
dan sebagainya.
BAB II
SHOLAT
- PENGERTIAN
Menurut bahasa sholat artinya
berdoa, sedangkan menurut istilah sholat ialah suatu perbuatan serta perkataan
tertentu yang di mulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan
persyaratan yang ada.
Allah SWT., berfirman :
Artinya:
Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang yang ruku..
- HUKUM, TUJUAN dan SYARAT
1. Hukum
sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua yang telah dewasa atau
akil baligh serta normal (tidak gila).
2. Tujuan
sholat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar.
إِنَّ
الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
“sesungguhnya sholat itu mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar.”
3. Syarat-syarat
untuk menunaikan sholat
a. Beragama
islam
b. Berakal
عَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ
الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُر رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ
“Diangkat pena dari tiga
golongan: orang yg tidur sampai ia bangun orang gila sampai kembali akal atau
sadar dan anak kecil hingga ia besar.”
c. Baligh
d. Mumayyiz
e. Bersih
dari hadas dan najis
f. Sadar
atau tidak sedang tidur.
- SYARAT SAH PELAKSANAAN SHOLAT
Syarat sah sholat adalah sebagai
berikut :
1. Masuk
waktu sholat
2. Menghadap
kiblat
3. Suci
dari hadas dan najis (baik badan maupun tempat ibadah)
4. Menutup
aurat
- RUKUN SHOLAT
Ketika sholat ada rukun-rukun
yang harus kita penuhi, yakni :
1. Niat
2. Posisi
berdiri bagi yang mampu
3. Takbiratul
ihram
4. Membaca
suratul fatihah
5. Rukuk
6. I’tidhal
7. Sujud
8. Duduk
di antara dua sujud
9. Sujud
kedua
10. Tasyahud
11. Membaca shalawat
Nabi
12. Salam (ke kanan
adalah wajib dan ke kiri adalah sunnah).
- HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT
Dalam melaksanakan ibadah sholat,
sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang bisa membatalkan sholat kia,
contohnya seperti :
1. Berhadas
dan najis baik pada tubuh, pakaian, maupun tempat.
2. Berkata-kata
kotor
3. Melakukan
banyak gerakan di luar bukan darurat
4. Gerakan
sholat tidak sesuai dengan rukun sholat dan gerakan yang tidak tuma’ninah.
5. Ada
yang keluar pada qubul dan dubur
6. Melakukan
persetubuhan dengan istri baik keluar air mani maupun tidak.
BAB III
PUASA
A. PENGERTIAN
Puasa berasal dari bahasa
Arab ( الصيام ) yang berarti menahan. Secaara istilah adalah
menahan diri dari semua hal yang dapat membatalkan puasa mulai terbit fajar
hingga terbenam matahari.
Allah SWT., berfirman dalam Q.S
Al-Baqarah : 183
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.”
B. MACAM-MACAM
PUASA
Berdasarkan jenisnya puasa di
bagi menjadi dua, yakni :
1. Puasa
wajib, yang meliputi :
a. Puasa
ramadhan
b. Puasa
nazar
c. Puasa
kifarat
2. Puasa
sunnah, yang meliputi :
a. Puasa
6 hari berturut-turut di bulan Syawal, dimulai pada hari ke-2 (setelah Idul
Fitri) sampai hari ke-7
b. Puasa
Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah bagi orang-orang yang tidak menunaikan ibadah
haji
c. Puasa
Senin-Kamis
d. Puasa
Daud (sehari puasa, sehari tidak), bertujuan untuk meneladani puasanya Nabi
Daud As.
e. Puasa
3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam)(Yaumil Bidh), tanggal
13, 14, dan 15
f. Puasa
Sya’ban (Nisfu Sya’ban) pada awal pertengahan bulan Sya’ban.
C. SYARAT
WAJIB PUASA
Syarat wajib puasa adalah sebagai
berikut :
1. Beragama
islam
2. Berakal
sehat
3. Baligh
(sudah cukup umur)
4. Mampu
melaksanaknnya
5. Orang
yang sedang berada di tempat.
D. SYARAT
SAH PUASA
Adapun syarat sah nya puasa ialah
sebagai berikut :
1. Islam
2. Mumayyis
(dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
3. Suci
dari haid dan nifas
4. Mengetahui
waktu diterimanya puasa.
E. RUKUN
PUASA
Dalam menjalankan ibadah puasa
ada beberapa rukun yang harus di penuhi yakni :
1. Niat
2. Meninggalkan
segala yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
F. WAKTU
YANG DIHARAMKAN UNTUK BERPUASA
Waktu haram puasa adalah waktu
saat umat Muslim dilarang berpuasa. Hikmah puasa adalah ketika semua orang
bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.
Adapun waktu yang diharamkan
untuk berpuasa ialah :
1. Hari
Raya Idul Fitri (1 Syawal)
2. Hari
Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)
3. Hari-hari
Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah).
G. SUNNAH-SUNNAH
PUASA
1. Bersahur
walaupun sedikit makanan atau minuman
2. Melambatkan
bersahur
3. Meninggalkan
perkataan atau perbuatan keji
4. Segera
berbuka setelah masuknya waktu berbuka.Mendahulukan berbuka daripada sembahyang
Maghrib
5. Berbuka
dengan buah tamar, jika tidak ada dengan air
6. Membaca
doa berbuka puasa
H. HAL
YANG MAKHRUH KETIKA BERPUASA
1. Selalu
berkumur-kumur
2. Merasa
makanan dengan lidah
3. Berbekam
kecuali perlu
4. Mengulum
sesuatu
I. HAL/PERKARA
YANG MEMBATALKAN PUASA
Adapun perkara yang membatalkan
puasa ialah sebagai berikut :
1. Memasukkan
sesuatu ke dalam rongga badan
2. Muntah
dengan sengaja
3. Bersetubuh
atau mengeluarkan mani dengan sengaja
4. Kedatangan
haid atau nifas
5. Melahirkan
anak atau keguguran
6. Gila
walaupun sekejap
7. Mabuk
ataupun pingsan
8. Murtad
(keluar dari agama islam).
J. HIKMAH
PUASA
1. Melatih
kesabaran dalam menjalani hidup
2. Sebagai
bentuk pendidikan kepada si kaya akan perihnya jika tidak makan seperti yang
dirasakan si miskin.
3. Sebagai
jawaban bahwa semua hamba itu adalah sama di mata Allah.
BAB IV
ZAKAT
A. PENGERTIAN
Zakat adalah salah satu rukun
Islam yang lima. Zakat secara etimologi berarti “tumbuh dan
bertambah”. Juga bisa berarti berkah, bersih, suci, subur dan
berkembang maju.
Zakat menurut terminologi
berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wata'ala.
untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-quran. Atau bisa
juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang
tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta
orang yang berzakat. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa kita selaku umat
muslim telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman
Allah Swt :
“Dan dirikanlah sholat
dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat“.
(Surat An Nur 24 : 56).
Dalam ayat yang lain Allah
menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah allah khususnya dalam menunaikan
zakat niscaya Allah akan memberikan rahmat kepada hambanya dan akan
dikembalikannya kita kepada kesucian/kembali fitrah seperti bayi yang baru
dilahirkan ke alam ini atau seperti kertas putih yang belum ada coretan, seperti
firman-Nya :
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
B. SYARAT-SYARAT
WAJIB UNTUK MENGELUARKAN ZAKAT
Syarat wajib untuk mengeluarkan
zakat ialah :
1. Islam
2. Merdeka : Hamba
sahaya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali zakat fitrah, sedangkan tuannya
wajib mengeluarkannya. Di masa sekarang persoalan hamba sahaya tidak ada lagi.
Bagaimanapun syarat merdeka tetap harus dicantumkan sebagai salah satu syarat
wajib mengeluarkan zakat karena persoalan hamba sahaya ini merupakan salah satu
syarat yang tetap ada.
3. Milik
Sepenuhnya : Harta yang akan dizakati hendaknya milik sepenuhnya
seorang yang beragama Islam dan harus merdeka. Bagi harta yang bekerjasama
antara orang Islam dengan orang bukan Islam, maka hanya harta orang Islam saja
yang dikeluarkan zakatnya.
4. Cukup
Haul : Cukup haul maksudnya harta tersebut dimiliki genap
setahun, selama 354 hari menurut tanggalan hijrah atau 365 hari menurut
tanggalan mashehi.
5. Cukup
Nisab : Nisab adalah nilai minimal sesuatu harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Kebanyakan standar zakat harta (mal) menggunakan nilai
harga emas saat ini, jumlahnya sebanyak 85 gram. Nilai emas dijadikan ukuran
nisab untuk menghitung zakat uang simpanan, emas, saham, perniagaan, pendapatan
dan uang dana pensiun.
C. MACAM-MACAM ZAKAT
Macam-macam zakat adalah di bawah
ini :
1. Zakat
fitrah adalah Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri
pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram)
makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
2. Zakat
maal (harta) adalah Zakat hasil perniagaan, pertanian,
pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak.
Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
D. ORANG
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya sedekah –
sedekah (zakat) itu hanya untuk orang – orang Fakir, Miskin, Pengurus zakat
(amil),orang (Q.S. At taubah : 60)
Yang berhak menerima zakat
menurut kaidah Islam terdiri dari 8 macam :
1. Fakir
: Orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok hidup.
2. Miskin
: Orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
untuk hidup.
3. Amil
: Orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
: Orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan barunya.
5. Hamba
sahaya : Orang yang ingin memerdekakan dirinya
6. Gharimin
: Orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
7. Fisabilillah
: Orang yang berjuang di jalan Allah.
8. Ibnus
Sabil : Orang yang kehabisan biaya di perjalanan.
Dari ulasan di atas kita bisa
menyimpulkan dan menyadari sendiri, apakah kita wajib membayar Zakat atau
mungkin menerima Zakat. Dan perlu kita ingat bahwa tidak ada hal
baik yang tidak mempunyai hikmah atau balasan dari Allah SWT. Dengan memenuhi
kewajiban kita sebagai umat islam untuk membayar Zakat, tentu saja
akan mendapat hikmah atau manfaat di antaranya yang bisa di ambil dari ulasan
di atas :
o Bisa
mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
o Membuang
perilaku buruk dari seseorang
o Alat
pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
o Ungkapan
rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
o Untuk
pengembangan potensi ummat
o Memberi
dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
o Menambah
pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Membayar zakat juga harus
memperhatikan siapa yang menerima zakat atau mungkin yang mengurusi zakat (
Amil ). Kita harus benar-benar memahami siapa saja yang berhak menerima zakat
dan jangan sampai kita salah memberikan zakat.
BAB V
HAJI
A. PENGERTIAN
Haji adalah salah
satu rukun Islam yang lima. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan
bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan
berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan beberapa kegiatan
pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah.
Secara estimologi (bahasa), Haji
berarti niat (Al Qasdu), sedangkan menurut syara’ berarti Niat
menuju Baitul Haram dengan amal-amal yang khusus.Temat-tempat tertentu yang
dimaksud dalam definisi diatas adalah selain Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i),
juga Padang Arafah (tempat wukuf), Muzdalifah (tempat mabit), dan Mina (tempat
melontar jumroh).
Sedangkan yang dimaksud dengan
waktu tertentu adalah bulan-bulan haji yaitu dimulai dari Syawal sampai sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah. Amalan ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i,
wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumroh, dan mabit di Mina.
Allah SWT., berfirman dalam Q.S
Al-Imran : 97
Artinya :
“Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim215; barangsiapa memasukinya
(Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah2l6. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.
B. RUKUN
dan WAJIB HAJI
a. Rukun
haji ialah:
1. Ihram
2. Thawaf Ziyarah (disebut juga dengan Thawaf Ifadhah)
3. Sa’i
4. Wuquf di padang Arafah
1. Ihram
2. Thawaf Ziyarah (disebut juga dengan Thawaf Ifadhah)
3. Sa’i
4. Wuquf di padang Arafah
b. Wajib haji:
1. Iharam dimulai dari miqat yang telah
ditentukan
2. Wuquf di Arafah sampai matahari tenggelam
3. Mabit di Mina
4. Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
5. Melempar jumrah
6. Mencukur rambut
7. Tawaf Wada’
2. Wuquf di Arafah sampai matahari tenggelam
3. Mabit di Mina
4. Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
5. Melempar jumrah
6. Mencukur rambut
7. Tawaf Wada’
C. SYARAT-SYARAT
WAJIB HAJI
Adapun syarat-syarat wajib
haji ialah:
a. Islam
b. Berakal
c. Baligh
d. Mampu
D. RANGKAIAN
IBADAH HAJI
Rangkaian kegiatan ibadah Haji
1. Sebelum
tanggal 8 Dzulhijjah, calon jamaah haji mulai berbondong untuk melaksanakan
Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
2. Calon jamaah
haji memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian
haji), sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah,
yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik
labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa
syarika laka..
3. Tanggal 9
Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah untuk
menjalankan ibadah wukuf. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam
diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang.
4. Tanggal 9
Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan
mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya.
5. Tanggal 9
Dzulhijjah tengah malam (setelah mabbit) jamaah meneruskan perjalanan ke Mina
untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh.
6. Tanggal 10
Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumroh sebanyak tujuh kali ke
Jumroh Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Dilanjutkan dengan tahalul
yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut.
7. Jika jamaah
mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram untuk
Tawaf Haji (menyelesaikan Haji).
8. Sedangkan
jika mengambil nafar akhir jamaah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan
melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha).
9. Tanggal 11
Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan
tugu ketiga.
10. Tanggal 12 Dzulhijjah,
melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
11. Jamaah haji
kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wada’ (Thawaf perpisahan) sebelum
pulang ke negara masing-masing
Pustaka
http://www.hasanalbanna.com/istilah-dalam-fiqih-istilah-hukum-ushul-dan-ilmu-fiqih/
http://alwiawingtrio.blogspot.com/2013/06/resume-ilmu-fiqh-tentang-thaharah-zakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar