Rabu, 20 November 2013

Resume Ilmu Fiqh tentang sejarah,hukum, Thaharah, zakat, sholat, puasa dan haji

Resume Ilmu Fiqh tentang sejarah,hukum, Thaharah, zakat, sholat, puasa dan haji


Sejarah ilmu fiqh


Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan.





Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.

Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.

Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.

Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.

Cara sahabat dalam mencetuskan hukum, ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.

Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.

Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.

Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.

Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.

Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (w. 204 H).

Imam Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafi’i berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafi’i menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.

Setelah Syafi’i, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ‘ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.


            HUKUM ILMU FIQH
Ulama fiqih membunyai istilah-istilah tertentu yang sering digunakan dalam kitab- kitab mereka, diantaranya:

A. Istilah Hukum

1. Hukum Taklif

a. Fardhu

Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang pasti dan harus, dengan dalil qath’i (pasti), Contohnya, rukun Islam yang lima, yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah mutawatirah, atau sesuatu yang termasyhur seperti membaca Al Quran dalam shalat. Maka jika hukum yang fardhu diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan dihukumi kafir jika meninggalkannya.

b. Wajib

Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang keras, dengan dalil yang zhan (tidak pasti), seperti, wajibnya zakat fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir).. Menurut qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur ulama menyamakan antara wajib dan fardhu kecuali Madzhab Al Hanafiyah

c. Al Mandub atau Sunnah

Apa- apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi tidak dengan keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya tetapi tidak disiksa jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang, sahalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub dengan nafilah, mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al Hanafiyah, beliau membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah, mandub masyru’ seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. dalam makan dan minum.

d. Haram

Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras, menurut Al Hanafiyah, sesuatu yang harus ditinggalkan berdasarkan dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum khamar, berzina dan lain sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan disiksa ketika meninggalkannya, Al Hanafiyah menamakan haram juga dengan, ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur anhu, muatawaidan alaih.

e. Makruh Tahrim

Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain, haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al Hanafiyah mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram menurut mereka.

f. Makruh Tanzih

Menurut Al Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila sampai melakukannya, seperti wudhu dari bekas ludah kucing, memakan hasil buaruan burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya. Menurut jumhur ulama makruh hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut un tuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang diberi pahala ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.

g. Mubah

Adalah apa- apa yang diperbolehkan oleh agama, baik ditinggalkan atau dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya.

2. Hukum Wadh’i

a. Sebab

Adalah susuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu di akui oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan keharaman khamar, safar (bepergian) yang menjadi sebab dibolehkannya berbuka shaum di bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoashar shalat, sedang sebab yang tidak diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebabkan diwajibkannya shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi sebab diwajibkannya shaum pada esok harinya.

b. Syarat

Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu, seperti, wudhu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi wudhu bukan bagian dari shalat.

c. Rukun

Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu, , mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan shahnya shalat dan takbiraul ihram merupakan bagian dari shalat.

d. Penghalang

Sesutu yang apa bila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada atau menjadi bathal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi sebab tidak shahnya hukum shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya zakat bagi seseorang.

e. Sah

Apa- apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’ misalnya, shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat itu sah.

f. Batal

Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut ulama Al Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok, yang merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli, kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.

g. Rusak

Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut ulama Al Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad atau dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang tidak diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena salah satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.

h. Al Ada’

Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan menurut syara’ misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.

i. Al I’adah (mengulang)

Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada waktunya. Misalnya mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya dirumah, atau mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah karena suatu sebab.

j. Al Qadha’

Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti mengerjakan shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak disengaja) misalnya, mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.

h. Al ‘Azimah

Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum perauran itu tidak ada peraturan lain yang mendahuluinya dan beralaku umum bagi seluruh mukallaf dalam semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dham keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.

k. Ar Rukhshah

Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada hal-hal yang memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok. Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.

B. Istilah Ushul

Isthilah ushul adalah istilah khusus yang berakaitan dengan hukum yang biasa digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukum syara’

1. Umum dan Khusus (‘amm dan khas)

Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk memahami maksud Al Quran dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafadz yang ‘amm (umum) dan ada juga yang khas (khusus).

Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak yang tidak terhitung, misalnya dalam surat Al Hujurat ayat 18 Allah berfirman,

“Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini umum menunjukan bahwa semua amal baik kecil besar terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti diketahui oleh Allah, maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena tidak terbatas.

Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis) oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 29,

“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian…”

berarti kita boleh memanf aatkan segala apa yang ada dimuka bumi ini termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam ayat lain Allah mengharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi memakai dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya sudah dikecualikan.

Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir atau penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.

2. Muthlaq dan Muqayyad

Muthlaq adalah, laf adz yang menunjukan suatu hal atau barang atau orang tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh firman Allah dalam surat Al Maidah ayat: “Diharamkan atas kalian bangkai darah, dan daging babi.”

Berarti semua darah dan daging babi haram dimakan. Muqayyad adalah, suatu lafadz yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu disertai ikatan (batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat.

Contoh firman Allah dalam ayat berikut:

“Katakanlah,”Aku tidak peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…” (QS Al Anam: 145)

Berarti kalimat darah dalam ayat Al Maidah sudah dibatasi (ditaqyid) oleh ayat Al Anam yaitu kaimat “yang mengalir”

Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah yang mengalir saja bukan semua darah.

3. Mujmal dan Mubayyan

Mujmal adalah lafadz atau perkataan yang belum jelas maksudnya, seperti kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”, maka kata shalat dalam Al Quran ini masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau perbuatan, belum dijelaskan apa maksudnya.

Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti firman Allah:

“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian………” (QS Al Maidah: 6)

4. Manthuq dan Mafhum

Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu sendiri. Mantuq dibagi dua:

a. Nash, yaitu suatu lafadz atau perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada kalian sahaum, Allah haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka kata-kata wajib dan haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh dikerjakan atau boleh ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.

b. Dzahir adalah laf adz yang menunjukan suatu makna secara tekstual. Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang memerlukan takwil atau keterangan, seperti firman Allah,

”Tanyakanlah oleh kalian kampung tersebut……” (QS Yusuf: 82)

Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh karena itu ayat ini memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan dengan kaidah bahasa atau majaz.

Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu sendiri tapi berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah surat Al Isra ayat 23:

“Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua dan jananlah menghardik keduanya.” (QS Al Isra’: 23)

Berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan karena mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul.

Contoh lain, firman Allah dalam ayat berikut ini:

“Mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perutnya.” (QS An Nisa: 10)

berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim karena karena membuat sesuatu kedzaliman terhadap anak yatim.

C. Istilah dalam Ilmu Fiqih

1. Ijtihad

Dari segi bahasa Ijtihad berarti sungguh-sungguh sedang menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupam untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, orangnya disebut mujtahid. syarat-syarat Ijtihad

Mengetahui nash dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengetahui maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad

Mengetahui soal-soal ijma, hingga ia tidak berfatwa yang berlainan dengan ijma’
Mengetahui bahasa arab
Mengetahui ilmu ushul fiqh (kaidah dasar pengambilan hukum fiqh)
Mengetahui nasikh dan mansukh
2. Ittiba’

Ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber-sumber atau alasan perkataan tersebut, orangnya disebut muttabi’

3. Taqlid

Ialah mengikuti pandapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.

a. Syarat-syarat taqlid:

Bertaqlid diboleh dengan syarat-syarat orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum, ia boleh mengikuti pendapat lain dan mengamalkannya.

Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri maka hendaklah mencari sendiri atau minimal ittaba’ kepada salah satu madzhab tertentu.

b. Syarat-syarat masalah yang ditaqlid

 Hukum akal

Dalam hkum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sif atNya dan hukum akal lainya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedang setiap oarng punya akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.

 Hukum syara’

Hukum syara ada dua macam yaitu yang bisa diketahui dengan pasti seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji dalam masalah ini tidak boleh seseorang bertaqlid. Yang kedua masalah-masalah yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti ibadah furu’iyah.

c. Taqlid yang diharamkan

1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Al Quran dan As sunnah

2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk ditaqlidi

Pesan Imam Empat dalam Masalah Lain-lain

Imam Abu Hanifah:

“Jika perkataanku manyalahi kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku.”

“Seseoarang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.”

Imam Malik:

“Saya hanya manusia biasa yang kadang salah kadang benar, selidikilah pendapat saya, kalau sesuai dengan Al Quran dan Hadits, maka ambillah, jika menyalahi hendaklah tinggalkanlah.”

Imam Syafi’i:

“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mancari kayu bakar di waktu malam, ia membawa kayu-kayu itu sedang ia tidak tahu di dalamnya ada ular yang siap menggigit sedang ia tidak tahu.”

Imam Ahmad Bin Hanbal:

“Janganlah taqlid kepada saya, Malik, Tsauri, Auza’i, tapi ambilah dari mana mereka mengambil.”


                                                                            BAB 1
                                                                      THAHARAH
  1. PENGERTIAN
Thaharah menurut bahasa berasal dari bahasa arab (الطهراه  ( yang artinya bersuci. Sedangkan menurut istilah, thaharah ialah menghilangkan hadas dan najis dari badan, pakaian dan tempat supaya dapat menunaikan ibadat khususnya ibadat solat.
Bersuci itu adalah sesuatu yang wajib di dalam ajaran islam.Tanpa bersuci ibadat tidak diterima.Di antara cara bersuci ialah wuduk , mandi dan membersihkan najis dari badan dan pakaian.
  1.  JENIS-JENIS BERSUCI
1.      Menyucikan badan dari hadas kecil.
Yaitu menyucikan badan daripada hadas kecil dengan berwudhu atau bertayammum. Orang yang berhadas kecil tidak dibolehkan mengerjakan solat atau menyentuh al-Quran.
2.      Menyucikan badan dari hadas besar.
Orang yang berjunub atau berhadas besar hendaklah membersihkan dirinya dengan mandi.Mereka yang berhadas besar ialah mereka yang melakukan persetubuhan ,orang yang haid dan nifas. Orang yang berhadas besar juga diharamkan mengerjakan solat, puasa, haji, duduk di dalam masjid, menyentuh dan membaca al-Quran.
3.      Istinja’
Menghilangkan kotoran seperti najis dari tempat keluarnya dengan sesuatu yang bersih seperti air, kertas, batu, tisu dan sebagainya sehingga najis itu bersih. Istinja’ itu mestilah menghilangkan najis, baunya dan rasanya.
Cara-cara beristinja’:
a.       Istinja’ itu mestilah 3 kali ulang, kalau masih belum suci boleh di ulangi lagi sehingga bersih.
b.       Alat dibuat istinja’ itu mestilah dapat membersihkan tempat najis yang keluar.
c.        Sekiranya batu mestilah diambil sekurang-kurangnya 3 biji.
  1.  AIR
Air di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

1.    Air Mutlak (Air yang suci lagi menyucikan).
Air ini boleh digunakan untuk minum, mandi dan berwudhu dan boleh juga digunakan untuk membasuh.contoh air mutlak ialah air telaga, air sungai, air hujan, air mata air, air laut dan sebagainya.

2.    Air Musta’mal (Air yang telah digunakan ).

3.    Air yang suci tetapi tidak boleh menyucikan.
Yaitu air yang telah berubah salah satu sifatnya, contoh seperti air kopi, air teh dan sebagainya. Termasuk juga dalam golongan ini air yang kurang dari dua kolah yaitu air yang sudah digunakan untuk berwudhu atau menghilangkan najis.

4.    Air Mutannajis ( Air yang kotor).
Air yang najis yaitu air yang sudah berubah semua sifatnya seperti warna, rasa atau baunya dan bercampur dengan najis.

5.    Air Musyammas (air yang berjemur pada matahari).
Ialah air yang makruh untuk digunakan ialah air yang terjemur pada terik matahari dalam bekas selain bekas daripada emas atau perak. Air ini makruh digunakan untuk badan tetapi boleh digunakan untuk membasuh pakaian.

  1. JENIS – JENIS NAJIS
Jenis-jenis najis di kelompokkan menjadi 3 bagian di bawah ini :

1.    Najis Mughallazah (najis berat).
Yaitu najis yang berat yaitu najis anjing dan babi. Cara mencuci barang–barang yang terkena najis ini ialah dengan menyamak yaitu membasuh dengan air sebanyak 7 kali. Di antara basuhan itu hendaklah dengan air bercampur dengan tanah.

2.    Najis mukhaffafah (najis ringan).
Yaitu najis yang ringan seperti kencing bayi yang berusia 2 tahun kebawah, yang hanya minum susu ibunya saja. Cara menyucinya ialah dengan merenjis air di tempat terkena kencing itu.

3.    Najis Mutawassitah (najis pertengahan).
Yaitu najis pertengahan. Termasuk dalam kumpulan ini ialah air kencing, tahi, darah, nanah, muntah, air mazi (yaitu air putih jernih yang keluar dari kemaluan ketika nafsu berahi meningkat), wadi (yaitu air putih jernih yang keluar dari kemaluan sesudah buang air kecil ketika kerja berat), arak dan susu binatang yang tidak boleh dimakan. Cara menyucinya ialah basuh dengan air bersih hingga hilang baunya, rasanya, dan warnanya. Jika sudah dibasuh berulang-ulang kali tetapi bau dan warnanya tidak juga hilang adalah dimaafkan.

  1. WUDHU
1.    Pengertian wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah. Menurut syarak artinya membersihkan anggota wudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Bagi orang yang hendak menunaikan sholat, wajiblah baginya berwudhu dahulu kerana berwudhu adalah syarat sahnya sholat.
Hadits Rasul SAW :
لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi ).


2.    Fardhu Wudhu
Dalam Q.S. Al-maidah : 6 Allah beriman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakitatau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Berdasarkan ayat di atas, maka fardu wudhu ada enam perkara berikut :
a.       Niat.
Ialah berniat dalam hati ketika membasuh sebahagian muka.membaca lafaz adalah sunat. Lafadznya ialah sebagai berikutt:

نويت الوضوع لرفع الحدث الاصغر لله تعالى
“ Sengaja aku berwudhu untuk mengangkat hadas yang kecil kerana Allah Taala”
b.      Membasuh muka
Yaitu membasuh dari sekeliling tempat tumbuhnya rambut kepala hinggga ke bawah dagu dan dari telinga kanan hingga ke telinga kiri.
c.       Membasuh kedua tangan hingga kesiku dimulai dengan tangan kanan kemudian tangan kiri.
d.      Membasuh atau menyapuh sebahagian dari kepala. Sekurang-kurangnya membasahkan 3 helai rambut dikepala.
e.       Membasuh kedua kaki hingga ke buku lali dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri.
f.       Tertib yaitu melakukan wudhu mengikut turutan dan berturut-turut.

3.    Syarat-Syarat Wudhu
Adapun syarat-syarat wudhu adalah sebagai berikut :
a.       Beragama ilslam
b.      Mumaiyiz yaitu seseorang yang telah dapat membedakan antara yang bersih dengan yang kotor.
c.       Suci dari haid dan nifas
d.      Dengan air yang suci lagi menyucikan
e.       Tidak ada sesuatu yang dapat menghalang air sampai kekulit (anggota wudhu) seperti getah, minyak dan sebagainya
f.       Mengetahui yang mana wajib dan yang mana sunat

4.    Sunat-Sunat Wudhu
Sunat-sunat wudhu ialah sebagai berikut :
a.       Membaca Bismillah.
b.      Membasuh kedua tangan sehingga ke pergelangan tangan.
c.       Berkumur-kumur.
d.      Memasukkan air kehidung.
e.       Menyapu seluruh kepala.
f.       Menyapu air kedua-dua telinga luar dan dalam.
g.       Membasuh tiap-tiap anggota wuduk tiga kali.
h.      Tidak bercakap-cakap ketika berwudhu.
i.        Bersikat gigi.
j.        Membaca doa selepas berwudhu.

5.    Perkara-Perkara Yang Membatalkan Wudhu
a.       Keluar sesuatu dari dua jalan yaitu qubul dan dubur seperti kentut, kencing dan sebagainya
b.      Hilang ingatan dengan sebab gila atau pitam atau tidur yang tidak tetap kedudukannya
c.       Bersentuh kulit antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya
d.      Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau perut anak jari. Entah kemaluan sendiri atau orang lain.

  1. TAYAMMUM
Tayammum ialah menyapu tanah dengan kedua tangan hingga ke siku dengan beberapa syarat tertentu .Tayammun adalah sebagai ganti wudhu atau mandi wajib khususnya bagi mereka yang tidak boleh menggunakan air kerana sebab-sebab tertentu yaitu uzur kerana sakit yang tidak boleh terkena air, tiada air atau ada air yang cukup untuk minum saja.


1.         Syarat-syarat Tayammum
a.       masuk waktu solat sedangkan air tidak ada,
b.      tidak ada air walaupun sudah berusaha mencarinya,
c.       tanah suci dan berdebu,
d.      menghilangkan najis dari badannya dengan beristinja’ sebelum bertayammum.

2.         Rukun Tayammum
a.       berniat,
b.      menekankan kedua tapak tangan ke atas bedu yang suci,
c.       menyapu muka dengan debu tadi,
d.      menekan kedua telapak tangan ke atas debu sekali lagi kemudian menyapu dua tapak tangan sampai kesiku,
e.       tertib.

3.         Sunnat Tayammum
Sunnat-sunnat tayammum adalah sebagai berikut :
a.       Membaca Basmalah,
b.      Mengadap kiblat,
c.       Mendahului menyapu anggota kanan,
d.      Mengejakan dengan berturut-berturut.

4.         Perkara yang Membatalkan Tayammum
Perkara yang bisa membatalkan tayammum adalah sebagai berikut :
a.       semua perkara yang membatalkan wudhu,
b.      mendapatkan air sebelum memulakan sholat (bagi orang yang tidak uzur),
c.       apabila orang yang uzur boleh menggunakan air.

  1. MANDI WAJIB atau MANDI JUNUB
Mandi junub ialah mandi yang wajib dilakukan untuk mengangkat hadas yang besar setelah berlaku salah satu daripada sebab-sebab yang menyebabkan wajibnya mandi wajib seperti bersetubuh, nifas, dan lain-lain.

1.      Sebab-sebab Wajib Mandi :
a.       melakukan persetubuhan yaitu memasukkan kepala hasafah ke dalam faraj meskipun tidak keluar air mani,
b.      keluar air mani walaupun tidak bersetubuh,
c.        mati kecuali mati syahid,
d.        suci daripada haid. Apabila seseorang perempuan telah suci daripada haidnya maka wajiblah dia mandi dengan segera,
e.        suci dari darah nifas iaitu darah yang keluar sesudah melahirkan anak.
f.         Wiladah yaitu melahirkan anak.

2.      Rukun Mandi Junub :
a.       Niat.
b.      menghilangkan semua najis daripada anggota badan,
c.       meratakan air ke seluruh badan.

3.      Sunah-sunnah Mandi Junub :
a.       membaca bismillah,
b.      mencuci faraj dan dubur dengan air bersih,
c.       kalau ada najis ditubuh badan hendaklah dibersihkan terlebih dahulu,
d.      sunnah berwudhu,
e.       menjirus air ke badan dimulakan dari sebelah kanan.

4.      Perkara-Perkara yang Dilarang Bagi Orang yang Berhadas Besar :
a.       mengerjakan solat, termasuk juga sujud syukur, sujud tilawah, membaca khutbah jumaat,
b.      melakukan tawaf di Baitullah,
c.       menyentuh dan membaca al-Quran,
d.      berhenti di dalam masjid atau berulang-alik di dalamnya,
e.       berpuasa dan sebagainya.


BAB II
SHOLAT
  1. PENGERTIAN
Menurut bahasa sholat artinya berdoa, sedangkan menurut istilah sholat ialah suatu perbuatan serta perkataan tertentu yang di mulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratan yang ada.
Allah SWT., berfirman :

Artinya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang yang ruku..

  1. HUKUM, TUJUAN dan SYARAT
1.      Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah wajib bagi semua yang telah dewasa atau akil baligh serta normal (tidak gila).
2.      Tujuan sholat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar.
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
“sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
3.      Syarat-syarat untuk menunaikan sholat
a.             Beragama islam
b.             Berakal
عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُر رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yg tidur sampai ia bangun orang gila sampai kembali akal atau sadar dan anak kecil hingga ia besar.”
c.             Baligh
d.            Mumayyiz
e.             Bersih dari hadas dan najis
f.              Sadar atau tidak sedang tidur.

  1. SYARAT SAH PELAKSANAAN SHOLAT
Syarat sah sholat adalah sebagai berikut :
1.      Masuk waktu sholat
2.      Menghadap kiblat
3.      Suci dari hadas dan najis (baik badan maupun tempat ibadah)
4.      Menutup aurat

  1. RUKUN SHOLAT
Ketika sholat ada rukun-rukun yang harus kita penuhi, yakni :
1.      Niat
2.      Posisi berdiri bagi yang mampu
3.      Takbiratul ihram
4.      Membaca suratul fatihah
5.      Rukuk
6.      I’tidhal
7.      Sujud
8.      Duduk di antara dua sujud
9.      Sujud kedua
10.  Tasyahud
11.  Membaca shalawat Nabi
12.  Salam (ke kanan adalah wajib dan ke kiri adalah sunnah).

  1. HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT
Dalam melaksanakan ibadah sholat, sebaiknya kita memperhatikan hal-hal yang bisa membatalkan sholat kia, contohnya seperti :
1.      Berhadas dan najis baik pada tubuh, pakaian, maupun tempat.
2.      Berkata-kata kotor
3.      Melakukan banyak gerakan di luar bukan darurat
4.      Gerakan sholat tidak sesuai dengan rukun sholat dan gerakan yang tidak tuma’ninah.
5.      Ada yang keluar pada qubul dan dubur
6.      Melakukan persetubuhan dengan istri baik keluar air mani maupun tidak.



BAB III
PUASA
A.           PENGERTIAN
Puasa berasal dari bahasa Arab ( الصيام ) yang berarti menahan. Secaara istilah adalah menahan diri dari semua hal yang dapat membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Allah SWT., berfirman dalam Q.S Al-Baqarah : 183
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

B.            MACAM-MACAM PUASA
Berdasarkan jenisnya puasa di bagi menjadi dua, yakni :
1.      Puasa wajib, yang meliputi :
a.       Puasa ramadhan
b.      Puasa nazar
c.       Puasa kifarat
2.      Puasa sunnah, yang meliputi :
a.       Puasa 6 hari berturut-turut di bulan Syawal, dimulai pada hari ke-2 (setelah Idul Fitri) sampai hari ke-7
b.      Puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah bagi orang-orang yang tidak menunaikan ibadah haji
c.       Puasa Senin-Kamis
d.      Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), bertujuan untuk meneladani puasanya Nabi Daud As.
e.       Puasa 3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam)(Yaumil Bidh), tanggal 13, 14, dan 15
f.       Puasa Sya’ban (Nisfu Sya’ban) pada awal pertengahan bulan Sya’ban.

C.            SYARAT WAJIB PUASA
Syarat wajib puasa adalah sebagai berikut :
1.         Beragama islam
2.         Berakal sehat
3.         Baligh (sudah cukup umur)
4.         Mampu melaksanaknnya
5.         Orang yang sedang berada di tempat.

D.      SYARAT SAH PUASA
Adapun syarat sah nya puasa ialah sebagai berikut :
1.      Islam
2.      Mumayyis (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
3.      Suci dari haid dan nifas
4.      Mengetahui waktu diterimanya puasa.

E.       RUKUN PUASA
Dalam menjalankan ibadah puasa ada beberapa rukun yang harus di penuhi yakni :
1.      Niat
2.      Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

F.        WAKTU YANG DIHARAMKAN UNTUK BERPUASA
Waktu haram puasa adalah waktu saat umat Muslim dilarang berpuasa. Hikmah puasa adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya.
Adapun waktu yang diharamkan untuk berpuasa ialah :
1.      Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal)
2.      Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)
3.      Hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah).

G.      SUNNAH-SUNNAH PUASA
1.      Bersahur walaupun sedikit makanan atau minuman
2.      Melambatkan bersahur
3.      Meninggalkan perkataan atau perbuatan keji
4.      Segera berbuka setelah masuknya waktu berbuka.Mendahulukan berbuka daripada sembahyang Maghrib
5.      Berbuka dengan buah tamar, jika tidak ada dengan air
6.      Membaca doa berbuka puasa

H.      HAL YANG MAKHRUH KETIKA BERPUASA
1.      Selalu berkumur-kumur
2.      Merasa makanan dengan lidah
3.      Berbekam kecuali perlu
4.      Mengulum sesuatu

I.         HAL/PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA
Adapun perkara yang membatalkan puasa ialah sebagai berikut :
1.      Memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan
2.      Muntah dengan sengaja
3.      Bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan sengaja
4.      Kedatangan haid atau nifas
5.      Melahirkan anak atau keguguran
6.      Gila walaupun sekejap
7.      Mabuk ataupun pingsan
8.      Murtad (keluar dari agama islam).

J.         HIKMAH PUASA
1.      Melatih kesabaran dalam menjalani hidup
2.      Sebagai bentuk pendidikan kepada si kaya akan perihnya jika tidak makan seperti yang dirasakan si miskin.
3.      Sebagai jawaban bahwa semua hamba itu adalah sama di mata Allah.


BAB IV
ZAKAT
A.      PENGERTIAN
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima. Zakat secara etimologi berarti “tumbuh dan bertambah”.  Juga bisa berarti berkah, bersih, suci, subur dan berkembang  maju.
Zakat menurut terminologi berarti, sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wata'ala. untuk diberikan kepada para mustahik yang disebutkan dalam Al-quran. Atau bisa juga berarti sejumlah tertentu dari harta tertentu yang diberikan untuk orang tertentu. Lafal zakat dapat juga berarti sejumlah harta yang diambil dari harta orang yang berzakat. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa kita selaku umat muslim telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman Allah Swt :
 “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu diberi rahmat“. (Surat An Nur 24 : 56).
Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah allah khususnya dalam menunaikan zakat niscaya Allah akan memberikan rahmat kepada hambanya dan akan dikembalikannya kita kepada kesucian/kembali fitrah seperti bayi yang baru dilahirkan ke alam ini atau seperti kertas putih yang belum ada coretan, seperti firman-Nya :

Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

B.       SYARAT-SYARAT WAJIB UNTUK MENGELUARKAN ZAKAT
Syarat wajib untuk mengeluarkan zakat ialah :
1.      Islam
2.      Merdeka : Hamba sahaya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali zakat fitrah, sedangkan tuannya wajib mengeluarkannya. Di masa sekarang persoalan hamba sahaya tidak ada lagi. Bagaimanapun syarat merdeka tetap harus dicantumkan sebagai salah satu syarat wajib mengeluarkan zakat karena persoalan hamba sahaya ini merupakan salah satu syarat yang tetap ada.
3.      Milik Sepenuhnya : Harta yang akan dizakati hendaknya milik sepenuhnya seorang yang beragama Islam dan harus merdeka. Bagi harta yang bekerjasama antara orang Islam dengan orang bukan Islam, maka hanya harta orang Islam saja yang dikeluarkan zakatnya.
4.      Cukup Haul : Cukup haul maksudnya harta tersebut dimiliki genap setahun, selama 354 hari menurut tanggalan hijrah atau 365 hari menurut tanggalan mashehi.
5.      Cukup Nisab : Nisab adalah nilai minimal sesuatu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kebanyakan standar zakat harta (mal) menggunakan nilai harga emas saat ini, jumlahnya sebanyak 85 gram. Nilai emas dijadikan ukuran nisab untuk menghitung zakat uang simpanan, emas, saham, perniagaan, pendapatan dan uang dana pensiun.
C.       MACAM-MACAM  ZAKAT
Macam-macam zakat adalah di bawah ini :
1.    Zakat fitrah adalah Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
2.    Zakat maal (harta) adalah Zakat hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
D.       ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Allah SWT. berfirman :
 “Sesungguhnya sedekah – sedekah (zakat) itu hanya untuk orang – orang Fakir, Miskin, Pengurus zakat (amil),orang (Q.S. At taubah : 60)
Yang berhak menerima zakat menurut kaidah Islam terdiri dari 8 macam :
1.      Fakir : Orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2.      Miskin : Orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3.      Amil : Orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.      Mu'allaf : Orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
5.      Hamba sahaya : Orang yang ingin memerdekakan dirinya
6.      Gharimin : Orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
7.      Fisabilillah : Orang yang berjuang di jalan Allah.
8.      Ibnus Sabil : Orang yang kehabisan biaya di perjalanan.
Dari ulasan di atas kita bisa menyimpulkan dan menyadari sendiri, apakah kita wajib membayar Zakat atau mungkin menerima Zakat. Dan perlu kita ingat bahwa tidak ada hal baik yang tidak mempunyai hikmah atau balasan dari Allah SWT. Dengan memenuhi kewajiban kita sebagai umat islam untuk membayar Zakat, tentu saja akan mendapat hikmah atau manfaat di antaranya yang bisa di ambil dari ulasan di atas :
o    Bisa mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
o    Membuang perilaku buruk dari seseorang
o    Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
o    Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
o    Untuk pengembangan potensi ummat
o    Memberi dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
o    Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Membayar zakat juga harus memperhatikan siapa yang menerima zakat atau mungkin yang mengurusi zakat ( Amil ). Kita harus benar-benar memahami siapa saja yang berhak menerima zakat dan jangan sampai kita salah memberikan zakat.
BAB V
HAJI
A.           PENGERTIAN
Haji adalah salah satu rukun Islam yang lima. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan bagi kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan beberapa kegiatan pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah.
Secara estimologi (bahasa), Haji berarti niat (Al Qasdu), sedangkan menurut syara’ berarti Niat menuju Baitul Haram dengan amal-amal yang khusus.Temat-tempat tertentu yang dimaksud dalam definisi diatas adalah selain Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i), juga Padang Arafah (tempat wukuf), Muzdalifah (tempat mabit), dan Mina (tempat melontar jumroh).
Sedangkan yang dimaksud dengan waktu tertentu adalah bulan-bulan haji yaitu dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Amalan ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumroh, dan mabit di Mina.
Allah SWT., berfirman dalam Q.S Al-Imran : 97
Artinya :
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim215; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah2l6. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
B.            RUKUN dan WAJIB HAJI
      a.   Rukun haji ialah:
          1.    Ihram
2.    Thawaf Ziyarah (disebut juga dengan Thawaf Ifadhah)
3.    Sa’i
4.    Wuquf di padang Arafah
      b.  Wajib haji:
1.    Iharam dimulai dari miqat yang telah ditentukan
2.    Wuquf di Arafah sampai matahari tenggelam
3.    Mabit di Mina
4.    Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
5.    Melempar jumrah
6.    Mencukur rambut
7.    Tawaf Wada’
C.       SYARAT-SYARAT WAJIB HAJI
      Adapun syarat-syarat wajib haji ialah:
      a.       Islam
      b.      Berakal
      c.       Baligh
      d.      Mampu

D.      RANGKAIAN IBADAH HAJI
Rangkaian kegiatan ibadah Haji
1.   Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah, calon jamaah haji mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
2.   Calon jamaah haji memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), sesuai miqatnya, kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah, yaitu mengucapkan     Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka..
3.   Tanggal 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua calon jamaah haji menuju ke padang Arafah untuk menjalankan ibadah wukuf. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang Arafah hingga Maghrib datang.
4.   Tanggal 9 Dzulhijjah malam, jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabbit (bermalam) dan mengambil batu untuk melontar jumroh secukupnya.
5.   Tanggal 9 Dzulhijjah tengah malam (setelah mabbit) jamaah meneruskan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan ibadah melontar Jumroh.
6.   Tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah melaksanakan ibadah melempar Jumroh sebanyak tujuh kali ke Jumroh Aqobah sebagai simbolisasi mengusir setan. Dilanjutkan dengan tahalul yaitu mencukur rambut atau sebagian rambut.
7.   Jika jamaah mengambil nafar awal maka dapat dilanjutkan perjalanan ke Masjidil Haram untuk Tawaf Haji (menyelesaikan Haji).
8.   Sedangkan jika mengambil nafar akhir jamaah tetap tinggal di Mina dan dilanjutkan dengan melontar jumroh sambungan (Ula dan Wustha).
9.   Tanggal 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
10. Tanggal 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
11.  Jamaah haji kembali ke Makkah untuk melaksanakan Thawaf Wada’ (Thawaf perpisahan) sebelum pulang ke negara masing-masing

  


Pustaka
http://www.hasanalbanna.com/istilah-dalam-fiqih-istilah-hukum-ushul-dan-ilmu-fiqih/

http://alwiawingtrio.blogspot.com/2013/06/resume-ilmu-fiqh-tentang-thaharah-zakat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar